Konvergensi Politik Hukum, Hak Asasi Manusia dan Pancasila terhadap Perkawinan Beda Agama di Indonesia
DOI:
https://doi.org/10.57123/wicarana.v2i1.31Kata Kunci:
Perkawinan, Politik Hukum, Hak Asasi, PancasilaAbstrak
Perkawinan berbeda keyakinan adalah satu dari sekian permasalahan terkait aturan perkawinan yang terus bergulir di Indonesia akibat materi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur keabsahan diserahkan hukum agama atau kepercayaan masing-masing pemeluknya. Norma tersebut dianggap berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara untuk melaksanakan perkawinan sehingga dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dengan pendekatan yuridis-normartif, tulisan ini memaparkan argumentasi perkawinan berbeda agama dilihat dari perspektif konfigurasi politik hukum, hak asasi serta Pancasila sebagai paradigma hukum. Hasil penelitian menunjukkan perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan di Indonesia akibat keabsahan perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agama atau kepercayaan pemeluknya. Konfigurasi politik hukum menunjukkan hubungan antara Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum Negara ke dalam suatu sistem yang berorientasi kepada prinsip Negara Berketuhanan. Adanya disparitas dalam memahami hak asasi dengan hak warga negara merupakan aspek penting bahwa pemenuhan hak terkait perkawinan haruslah tunduk kepada pembatasan yang ada di hukum positif. Dilihat dari Ius Constituendum, perlunya pembaruan hukum perkawinan untuk mengatasi persoalan legalitas dan konflik norma yang ada. dengan demikian, perlunya penguatan paradigma Pancasila sebagai basis hukum negara untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan melalui produk legislasi di parlemen
Unduhan
Diterbitkan
Cara Mengutip
Terbitan
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2023 Enggar Wijayanto
Artikel ini berlisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.